Menahun (II)
Untukmu laki-laki yang sudah lama sekali menetap di hatiku. Selamat pagi, siang, sore, malam, entah kapanpun kamu membaca tulisan ini dan sepertinya akan dibaca berulang dalam kurun waktu tertentu.
Akhirnya sebentar lagi kamu pulang. Setelah dua belas tahun kamu kukenal, setelah tujuh tahun kamu pergi jauh, setelah empat tahun tidak kembali, setelah tiga tahun lalu aku memutuskan menghampiri, juga setelah hampir dua tahun aku dan kamu sama-sama bersaksi.
Terima kasih untuk segala yang sudah kamu beri. Khususnya waktu. Aku tahu hubungan kita memang tidak seperti hubungan pada umumnya. Kita sama-sama tahu bahwa kita memang punya kesibukan, kadang juga kita butuh berjeda, agar kepala menjadi jernih dan tidak terlalu terburu-buru mengambil keputusan.
Masih tentang waktu, tujuh tahun lalu aku menunggumu pulang ke Indonesia dengan harapan setidaknya setiap tahun bisa bertemu meski hanya satu kali, tapi ternyata di tujuh tahun itu kamu hanya bisa pulang tiga kali di tiga tahun pertama. Syukurlah aku selalu berhasil mencari alasan agar setiap kamu pulang aku bisa menjadi teman yang menyambut sekaligus menghantarkanmu sebelum penerbangan.
Awal tahun keempat pergimu justru aku yang menghampiri. Itu adalah keputusan terbaikku karena ternyata kamu tidak bisa pulang sama sekali. Di sana kupikir kamu akan menyampaikan sesuatu yang sedari lama ingin kudengar. Tapi ternyata tidak juga. Aku pulang ke Indonesia dengan rasa sudah sangat cukup menunggu. Kepadamu, segalanya aku memilih selesai. Aku memilih membuka hatiku seluas-luasnya untuk menciptakan distraksi mengenai kamu.
Tahun kelima kamu tiba-tiba mengutarakan sesuatu yang sudah sejak kapan kunanti. Aku senang sekali sekaligus sedih. Kenapa baru sekarang di saat aku sedang serius berproses dengan yang lain. Namun takdir miliki rencananya sendiri. Seberapapun aku berusaha menjauh justru semuanya memintaku kembali. Ternyata kamu memang rumah yang selama ini kucari. Juga ternyata aku baru menyadari bahwa melarikan diri dari kamu itu melelahkan sekali. Tanpa kehadiranmu, medio September keluargamu melamarku.
Dua tahun terakhir aku menunggu kamu pulang tapi dengan harapan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kita akan segera melangsungkan pernikahan. Semakin ke sini semakin aku menyadari, bahwa betapapun menyenangkannya hidupku tapi tidaklah berarti jika tiada hadirmu di sisi.
Setelah semua ini, yang benar-benar aku inginkan adalah duduk bersebelahan dengan kamu. Membicarakan banyak hal dari dini hingga selarut apapun. Boleh sembari di bawah rindang pepohonan taman kota, atau mungkin di antara denting peralatan makan yang beradu pada restoran favoritmu di sana, atau bahkan justru kita sedang dalam perjalanan ke negara lain. Ke manapun tujuanmu, pastikan aku ada di sebelahmu.
Tidak peduli seberapa banyak konflik yang akan muncul nanti namun aku rasa penyelesaiannya bisa jauh lebih mudah jika jarak nadi kita berdekatan. Ketika kita bisa saling membaca bahasa-bahasa tersirat yang selama ini mustahil terlampirkan pada pesan teks maupun suara. Ketika kita saling memandang peluh satu sama lain, barangkali kita lebih semakin bisa memaklumi segala yang tak sesuai harap. Memeluk semua juang yang meski terasa lelah namun sepadan, juga mengikhlaskan apa-apa yang terjadi di luar rencana, asal muaranya bersama kamu maka yang tadinya sulit menjadi tak apa.
Sungguh ternyata waktu berjalan sesuai temponya. Dua tahun kamu memintaku menunggu dan ya sekarang sisa 65 hari lagi menjelang ikrar, entah banyak sekali perasaan yang muncul di hatiku. Tahu apa yang paling membuatku terganggu? Pada setiap berat yang kuhadapi, aku benar-benar ingin memeluk kamu.
Komentar
Posting Komentar